SALAFUS SOLEH DAN TANZIH (MENYUCIKAN ALLAH S.W.T. DARIPADA SIFAT MAKHLUK)

SALAFUS SOLEH DAN TANZIH

(MENYUCIKAN ALLAH S.W.T. DARIPADA SIFAT MAKHLUK)

OLEH: H.A.KHUDORI YUSUF.Lc.MA

Berikut ini adalah pernyataan para sahabat Rasulullah dan para ulama dari empat madzhab, serta ulama lainya dari kalangan Ahlussunnah dalam penjelasan kesucian Allah dari menyerupai makhluk-Nya dan penjelasan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Kutipan berikut ini hanya sebagian kecil saja, karena bila kita hendak mengutip seluruh perkataan mereka maka akan membutuhkan kepada ratusan lembar halaman.Namun setidaknya berikut ini sebagai bukti untuk memperkuat akidah kita, sekaligus sebagai bantahan terhadap keyakinan-keyakinan yang menyalahinya.

قال مصباح التوحيد ومصباح التفريد الصحابي الجليل والخليفة الراشد سيدنا عليٌّ رضي الله عنه (40هـ) ما نصه (الفرق بين الفرق لأبي منصور البغدادي ص 333 🙂  كَانَ اللَّهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ الآنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ اهـ. أي بلا مكان . وقال أيضًا (الفرق بين الفرق لأبي منصور البغدادي ص 333) : إنَّ الله خَلَقَ العَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذهُ مَكَاناً لِذَاتِه

Seorang sahabat Rasulullah yang sangat agung,al khalifah ar-Rasyid Sayyidina Ali ra berkata: “Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, dan Dia Allah sekarang”(setelah menciptakan tempat )tetap sebagaimana pada sifat-Nya yang Azaliy; ada tanpa tempat”.(Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manhsur al-Baghdadi dalam kitab Al-firq bainal firaq: 333)

Beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah menciptakan arsy (makhluk Allah yang paling besar bentuknya) untuk menampakan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikan tempat bagi Dzat-Nya” (Diriwayatkan oleh al-Imam Abu Manhsur al-Baghdadi dalam kitab Al-firq bainal firaq: 333)

          Sayyidina Ali k.r.w.j. berkata lagi:

مَنْ زَعَمَ أنَّ إِلهَـَنَا مَحْدُوْدٌ فَقَدْ جَهِلَ الْخَالِقَ الْمَعْبُوْدَ (رَوَاه أبُو نُعَيم)

Artinya: “Barang siapa yang beranggapan (berkeyakinan) bahwa Tuhan kita berukuran maka ia tidak mengetahui Tuhan yang wajib disembah (belum beriman kepada-Nya)” (Diriwayatkan oleh Abu Nu’aym (W 430 H) dalam Hilyah al-Auliya, juz 1, h. 73)

Maksud dari perkataan sayyidina Ali ini adalah bahwa orang yang berkeyakinan atau beranggapan bahwa Allah adalah benda yang besar atau kecil maka dia adalah kafir, tidak mengenal Allah, seperti orang yang meyakini bahwa Allah menempati salah satu arah seperti arah atas. Karena dengan keyakinan seperti ini orang tersebut telah menjadikan Allah mahdud (memiliki ukuran), padahal setiap yang mahdud (berukuran besar atau kecil) pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam ukuran tersebut, sementara yang membutuhkan itu lemah dan yang lemah mustahil menjadi tuhan.

Dengan demikian dalam perkataan sayyidina Ali ini terdapat dalil yang jelas bahwa Allah maha suci dari hadd (ukuran) sama sekali. Maka barangsiapa yang menyandarkan kepada Allah sifat duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak maka sesungguhnya dia tidak mengenal Allah, dan barangsiapa berkeyakinan demikian terhadap Allah maka sesungguhnya ia seorang kafir yang rusak akidahnya. Haba’ memiliki ukuran, semut memiliki ukuran, manusia memiliki ukuran, matahari memiliki ukuran, langit memiliki ukuran, arsy memiliki ukuran. Jadi masing-masing yang disebutkan memiliki ukuran dan membutuhkan kepada yang menjadikannya dengan ukuran tersebut. Jadi, setiap sesuatu yang memiliki ukuran pasti dia adalah makhluk, yang membutuhkan (kepada selainnya) dan lemah maka tidaklah sah baginya sifat ketuhanan. Ketuhanan hanya sah bagi yang tidak memiliki bentuk dan ukuran; yaitu Dialah Allah yang tidak membutuhkan kepada seluruh alam,Dialah yang tidak mempunyai bentuk dan ukuran.

الْمَحْدُوْدُ عِنْدَ عُلَمَاءِ التّوْحِيْدِ مَا لَهُ حَجْمٌ صَغِيْرًا كَانَ أوْ كَبِيْرًا، وَالْحَدُّ عِنْدَهُمْ هُوَ الْحَجْمُ إنْ كَانَ صَغِيْرًا وَإنْ كَانَ كَبِيْرًا، الذَّرَّةُ مَحْدُوْدَةٌ وَاْلعَرْشُ مَحْدُوْدٌ وَالنُّوْرُ وَالظَّلاَمُ وَالرِّيْحُ كُلٌّ مَحْدُوْد.

Artinya: “Menurut Ulama Tauhid yang dimaksud dengan al-Mahdud (sesuatu yang berukuran), adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk baik kecil maupun besar. Sedangkan pengertian al-Hadd (batasan) menurut mereka adalah bentuk baik kecil maupun besar. Adz-dzarrah (sesuatu yang terlihat dalam cahaya matahari yang masuk melau jendela atau celah) memiliki ukuran dan disebut Mahdud,dan demikian juga dengan arsy iapun Mahdud,cahaya, kegelapan, dan angin seluruhnya memiliki ukuran dan disebut Mahdud”

Firman Allah s.w.t:

الْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّورَ (سورة الأنعام : 1)

Artinya: “Segala puji bagi Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menjadikan kegelapan dan cahaya” . (Qs.al-An’am:1)

Dalam ayat ini Allah s.w.t menyebutkan langit dan bumi keduanya termasuk benda yang dipegang oleh tangan(Katsif) dalam ayat ini Allah juga menyebutkan kegelapan dan cahaya dimana keduanya adalah benda yang tidak dapat  dipegang oleh tangan (Lathif). Hal ini memberikan pemahaman kepada kita bahwa pada zaman azali tidak ada sesuatupun selain Allah, baik itu benda katsif maupun benda lathif. Dan ini berarti bahwa Allah tidak menyerupai benda lathif maupun benda katsif. Allah s.w.t menciptakan alam semesta ini terbagi kepada dua bagian yaitu benda dan sifat benda. Benda terbagi menjadi dua: Pertama: Benda katsif yaitu benda yang dapat dipegang seperti langit, bumi, manusia, pohon, air, api dan benda katsif lainnya. Kedua: Benda Lathif, yaitu benda yang tidak dapat dipegang oleh tangan seperti cahaya, kegelapan, ruh, udara.Masing benda tersebut memiliki batas,ukuran dan bentuk, Allah berfirman:

وَكُلُّ شَىْءٍ عِندَهُ بِمِقْدَارٍ(سورة الرعد : 8)

Artinya: “Segala sesuatu bagi Allah memiliki ukuran (yang telah ditentukan)” .(Qs. ar-Ra’d: 8)

Dalam ayat ini Allah menginformasikan kepada kita. Bahwa benda-benda katsif adalah benda yang memiliki ukuran, sedangkan mengenai bahwa benda lathif memiliki ukuran adalah sesuatu yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang seksama. Cahaya misalnya memiliki tempat dan ruang kosong yang diisi olehnya, cahaya matahari menyebar ke areal atau jarak yang sangat luas yang diketahui oleh Allah, ukurannya sangat luas. Sementara cahaya lilin ukurannya sangat kecil. Cahaya kunang–kunang yang berjalan di rerumputan di malam hari, Allah jadikan cahayanya sekecil itu. Cahaya yang paling luas adalah cahaya surga.Jadi masing-masing cahaya tersebut memiliki batas dan ukuran yang membatasinya. Demikian juga dengan kegelapan ia memiliki ukuran dan ruang kosong yang diisi olehnya. Kadang tempat kegelapan tersebut sempit dan kadang luas. Anginpun memeliki tempat yang diisi olehnya, Allah s.w.t memerintahkan para Malaikat-Nya untuk menimbang dan mengirimkannya sesuai dengan ketentuan dan perintah Allah. Ada angin yang panas dan ada angin yang dingin. Ada angin yang Allah kirimkan sebagai bencana untuk menghancurkan suatu kaum, begitu juga ada angin yang dikirimkan sebagai rahmat dari Allah. Jadi masing-masing angin tersebut memiliki timbangan yang telah ditentukan oleh Allah. Demikian juga dengan ruh ia memiliki ukuran, ketika ruh berada dalam tubuh manusia, ruh berukuran sama dengan badan orang tersebut dan ketika ruh itu berpisah meninggalkan jasad seseorang ia bertempat di udara tanpa menyatu dengan jasadnya.

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa setiap makhluk pasti memiliki tempat, baik tempat yang besar maupun tempat yang kecil. Jadi Allah ta’ala menciptakan alam semesta ini dengan berbagai jenis dan bentuknya. Maka Dia Allah ta’ala tidak menyerupai  dengan makhluk-Nya dari satu segi maupun semua segi. Allah ta’ala tidak menyerupai benda katsif maupun benda lathif dan juga tidak bersifat dengan sifat–sifat benda, Allah ta’ala tidak menyerupai satupun dari segala sesuatu yang diciptakan-Nya, oleh karena itu Ulama Ahlussunnah mengatakan:

اللهُ مَوْجُوْدٌ بِلاَ مَكَانٍ وَلاَ جِهَةٍ

Allah ada tanpa tempat dan arah”

Al-Imam Ali Zainal Abidin bin Al-Husein r.a. berkata:

وقال التابعي الجليل الإمام زين العابدين علي بن الحسين بن علي رضي الله عنهم (94هـ) ما نصه (إتحاف السادة المتقين 4/380): “أنت الله الذي لا يَحويك مكان”اهـ. وقال أيضًا (إتحاف السادة المتقين 4/380) :  “أنت الله الذي لا تُحَدُّ فتكونَ محدودًا”ا

Seorang tabi’in yang agung, al-Imam as-Sajjad Zainal ‘Abidin Ali ibn al-Husain ibn Ali ibn Abi Thalib (w 94 H) berkata: “Engkau wahai Allah yang tidak diliputi oleh tempat” (Muhammad al-Murtadha az-Zabidi dalam kitab Ittihaf as-Sa’adah Al-Muttaqin: 4/380) Juga berkata: “Engkau wahai Allah yang maha suci dari segala bentuk dan ukuran”(Muhammad al-Murtadha az-Zabidi dalam kitab Ittihaf as-Sa’adah Al-Muttaqin: 4/380)

Al-Hafizh al-Bayhaqi dalam karyanya berjudul al-Asma’ Wa ash-Shifat, dengan sanad yang baik (jayyid), -sebagaimana penilaian al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dalam Fath al-Bari-, meriwayatkan dari al-Imam Malik dari jalur Abdullah ibn Wahb, bahwa ia -Abdullah ibn Wahb-, berkata: “Suatu ketika kami berada di majelis al-Imam Malik, tiba-tiba seseorang datang menghadap al-Imam, seraya berkata: Wahai Abu Abdillah, ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa, bagaimanakah Istawa Allah?.Abdullah ibn Wahab berkata: Ketika al-Imam Malik mendengar perkataan orang tersebut maka beliau menundukan kepala dengan badan bergetar dengan mengeluarkan keringat. Lalu beliau mengangkat kepala menjawab perkataan orang itu: “ar-Rahman ‘Ala al-arsy Istawa sebagaimana Dia mensifati diri-Nya sendiri, tidak boleh dikatakan bagi-Nya bagaimana, karena “bagaimana” (sifat benda) tidak ada bagi-Nya.Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”.Lalu kemudian orang tersebut dikeluarkan dari majelis al-Imam Malik (Al-Asma’ Wa ash-Shifat, h. 408)”.

Anda perhatikan; Perkataan al-Imam Malik: “Engkau ini adalah seorang yang berkeyakinan buruk, ahli bid’ah, keluarkan orang ini dari sini”, hal itu karena orang tersebut mempertanyakan makna Istawa dengan kata-kata “Bagaimana?”.Seandainya orang itu hanya bertanya apa makna ayat tersebut, sambil tetap meyakini bahwa ayat tersebut tidak boleh diambil makna zhahirnya, maka tentu al-Imam Malik tidak membantah dan tidak mengusirnya.

Adapun riwayat al-Lalika-i dari Ummu Salamah; Umm al-Mu’minin, dan riwayat Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman (salah seorang guru al-Imam Malik) yang mengatakan: “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul (al-Istiwa sudah jelas diketahui dan adanya al-Kayf (sifat benda) bagi Allah adalah sesuatu yang tidak masuk akal)”, yang dimaksud “Ghair Majhul” di sini ialah bahwa penyebutan kata tersebut benar adanya di dalam al-Qur’an. Ini dengan dalil riwayat lain dari al-Lalika-i sendiri yang mempergunakan kata “al-Istiwa madzkur”, artinya kata Istawa telah benar-benar disebutkan dalam al-Qur’an.Dengan demikian menjadi jelas bahwa yang dimaksud “al-Istiwa Ghair Majhul” artinya benar-benar telah diketahui penyebutan kata Istawa tersebut di dalam al-Qur’an.

Dari sini dapat dipahami bahwa al-Lali’ka’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman mengatakan “al-Istiwa Ghair Majhul Wa al-Kayf Ghairu Ma’qul”, sama sekali bukan untuk tujuan menetapkan makna duduk atau bersemayam bagi Allah. Juga sama sekali bukan untuk menetapkan makna duduk atau bersemayam yang Kayfiyyah duduk atau bersemayam-Nya tidak diketahui oleh kita Hal ini berbeda dengan orang-orang Wahhabiyyah yang salah paham terhadap pernyataan al-Lalika’i dan Rabi’ah ibn Abd ar-Rahman tersebut. Mereka mengatakan bahwa Allah bersemayam atau bertempat di atas arsy.Hanya saja, menurut mereka–, Kayfiyyah-Nya tidak diketahui .A’udzu Billah.

Al Imam al mujtahid Abu Hanifah an-Nu’man ibn Tsabit (w 150 H), salah seorang ulama Salaf terkemuka perintis madzhab Hanafi, berkata:

وَاللهُ تَعَالى يُرَى فِي الآخِرَة، وَيَرَاهُ الْمُؤْمِنُوْنَ وَهُمْ فِي الْجَنّةِ بِأعْيُنِ رُؤُوسِهِمْ بلاَ تَشْبِيْهٍ وَلاَ كَمِّيَّةٍ وَلاَ يَكُوْنُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ خَلْقِهِ مَسَافَة.

Artinya: “Allah Ta’ala di akhirat kelak akan dilihat. Orang-orang mukmin akan melihat-Nya ketika mereka di surga dengan mata kepala mereka masing-masing dengan tanpa adanya keserupaan bagi-Nya, bukan sebagai bentuk yang berukuran, dan tidak ada jarak antara mereka dengan Allah (artinya bahwa Allah ada tanpa tempat, tidak di dalam atau di luar surga, tidak di atas, bawah, belakang, depan, samping kanan ataupun samping kiri)”. ( Lihat al-Fiqh al-Akbar karya al-Imâm Abu Hanifah dengan penjelasannya karya Mulla Ali al-Qari, h. 136-137)

Pernyataan al-Imam Abu Hanifah ini sangat jelas dalam menetapkan kesucian tauhid. Artinya, kelak orang-orang mukmin disurga akan langsung melihat Allah dengan mata kepala mereka masing-masing. Orang-orang mukmin tersebut didalam surga, namun Allah bukan berarti di dalam surga. Allah tidak boleh dikatan bagi-Nya “didalam atau diluar”. Dia bukan benda. Dia ada ada tanpa tempat dan tanpa arah . Inilah yang dimaksud oleh imam Abu Hanifah bahwa orang-orang mukmin akan melihat Allah tanpa Tasybih , tanpa Kayfiyyah dan tanpa Kammiyyah.

Dalam al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

قُلْتُ: أرَأيْتَ لَوْ قِيْلَ أيْنَ اللهُ؟ يُقَالُ لَهُ: كَانَ اللهُ تَعَالَى وَلاَ مَكَانَ قَبْلَ أنْ يَخْلُقَ الْخَلْقَ، وَكَانَ اللهُ تَعَالَى وَلَمْ يَكُنْ أيْن وَلاَ خَلْقٌ وَلاَ شَىءٌ، وَهُوَ خَالِقُ كُلّ شَىءٍ.

Artinya: “Aku katakana. Tahukan engkau jika ada orang berkata Di manakah Allah ? Jawab Dia Allah ada tanpa permulaan dan tanpa tempat Dia ada sebelum segala makhluk-Nya ada Allah ada tanpa permulaan sebelum ada tempat sebelum ada makhluk dan sebelum segala suatu apapun. Dan Dia adalah Pencipta segala sesuatu”.(Lihat al-Fiqh al-Absath karya al-Imam Abu Hanifah dalam kumpulan risalah-risalahnya dengan tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 20).

Pada bagian lain dalam kitab al-Fiqh al-Absath, al-Imam Abu Hanifah menuliskan:

“Allah ada tanpa permulaan (Azali, Qadim) dan tanpa tempat Dia ada sebelum menciptakan apapun dari makhluk-Nya Dia ada sebelum ada tempat, Dia ada sebelum ada makhluk, Dia ada sebelum ada segala sesuatu, dan Dialah pencipta segala sesuatu. Maka barangsiapa berkata saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?, maka orang ini telah menjadi kafir Demikian pula menjadi kafir seorang yang berkata: Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” (al-Fiqh al-Absath, h. 57).

Dalam tulisan al-Imam Abu Hanifah di atas, beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Saya tidak tahu Tuhanku (Allah) apakah Ia di langit atau di bumi?” Demikian pula beliau mengkafirkan orang yang berkata: “Allah bertempat di arsy, tapi saya tidak tahu apakah arsy itu di bumi atau di langit” Klaim kafir dari al-Imam Abu Hanifah terhadap orang yang mengatakan dua ungkapan tersebut adalah karena di dalam ungkapan itu terdapat pemahaman adanya tempat dan arah bagi Allah. Padahal sesuatu yang memiliki tempat dan arah sudah pasti membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam tempat dan arah tersebut. Dengan demikian sesuatu yang pasti baru (makhluk) maka ia bukan Tuhan.

Maksud dua ungkapan Imam Abu Hanifah di atas juga telah dijelaskan oleh Imam al-Izz ibn Abdissalam dalam kitabnya Hall ar-Rumuz. Beliau berkata Imam Abu Hanifah mengkafirkan orang mengatakan dua uangkapan tersebut- Karena dua ungkapan itu memberikan pemahaman bahwa Allah memiliki tempat. Dan siapa yang berkeyakinan bahwa Allah memiliki tempat maka ia adalah seorang Musyabbih (seorang kafir yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya)‖ (Dikutip oleh Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqh al Akbar,h.198).

Pernyataan Imam al-Izz ibn Abd as-Salam ini juga dikuatkan oleh as-Syekh Mulla Ali al- Qari Ia berkata: Tanpa diragukan lagi bahwa al-Izz ibn Abdissalam adalah orang yang paling paham terhadap maksud dari perkataan Imam Abu Hanifah tersebut Karenanya kita wajib membenarkan apa yang telah beliau nyatakan‖ (Lihat Mulla Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 198).

Tulisan al-Imam Abu Hanifah diatas, seringkali disalahpahami dan disalahgunakan atau sengaja diputarbalikan pemaknaannya oleh kaum Musyabbihah. Dan perkataan al-Imam Abu Hanifah ini seringkali dijadikan alat oleh kaum Musyabbihah demi untuk mempropagandakan keyakinan mereka bahwa Allah berada di langit atau berada di atas arsy. Padahal sama sekali perkataan al-Imam Abu Hanifah tersebut bukan untuk menetapkan tempat atau arah bagi Allah. Justru sebaliknya, beliau mengatakan demikian adalah untuk menetapkan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Hal ini terbukti dengan perkataan-perkataan al-Imam Abu Hanifah sendiri seperti yang telah kita kutip di atas. Di antaranya tulisan beliau dalam al-Washiyyah: “Jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia?”.

Dengan demikian menjadi jelas bagi kita bahwa klaim kafir yang sematkan oleh al-Imam Abu Hanifah adalah terhadap mereka yang berakidah tasybih yaitu mereka yang berkeyakinan bahwa Allah bersemayam di atas arsy. Inilah maksud yang dituju oleh al-Imam Abu Hanifah dengan dua ungkapannya tersebut di atas, sebagaimana telah dijelaskan oleh al-Imam al-Bayyadli al-Hanafi dalam karyanya; Isyarat al-Maram Min ‘Ibarat al-Imam (Lihat Isyarat al-Maram, h. 200). Demikian pula prihal maksud perkataan al-Imam Abu Hanifah ini telah dijelasakan dengan gamblang oleh al-Muhaddits al-Imam Muhammad Zahid al-Kautsari dalam kitab Takmilah as-Saif ash-Shaqil (Lihat Takmilah ar-Radd ‘Ala an-Nuniyyah, h. 180).

Kemudian pada bagian lain dari syarh al-fiqh al-akbar dalam bab al-Washiyyah, beliau al-Imam Abu Hanifah berkata :

وَنُقِرّ بِأنّ اللهَ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى مِنْ غَيْرِ أنْ يَكُوْنَ لَهُ حَاجَةٌ إليْهِ وَاسْتِقْرَارٌ عَلَيْهِ، وَهُوَ حَافِظُ العَرْشِ وَغَيْرِ العَرْشِ مِنْ غَبْرِ احْتِيَاجٍ، فَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا لَمَا قَدَرَ عَلَى إيْجَادِ العَالَمِ وَتَدْبِيْرِهِ كَالْمَخْلُوقِيْنَ، وَلَوْ كَانَ مُحْتَاجًا إلَى الجُلُوْسِ وَالقَرَارِ فَقَبْلَ خَلْقِ العَرْشِ أيْنَ كَانَ الله، تَعَالَى اللهُ عَنْ ذَلِكَ عُلُوّا كَبِيْرًا

“Kita menetapkan sifat Istiwa bagi Allah pada arsy, bukan dalam pengertian Dia membutuhkan kepada arsy tersebut, juga bukan dalam pengertian bahwa Dia bertempat atau bersemayam di arsy.Allah yang memelihara arsy dan memelihara selain arsy, maka Dia tidak membutuhkan kepada makhluk-makhluk-Nya tersebut. Karena jika Allah membutuhkan kapada makhluk-Nya maka berarti Dia tidak mampu untuk menciptakan alam ini dan mengaturnya. Dan jika Dia tidak mampu atau lemah maka berarti sama dengan makhluk-Nya sendiri. Dengan demikian jika Allah membutuhkan untuk duduk atau bertempat di atas arsy, lalu sebelum menciptakan arsy dimanakah Ia (Artinya, jika sebelum menciptakan arsy Dia tanpa tempat, dan setelah menciptakan arsy Dia berada di atasnya, berarti Dia berubah, sementara perubahan adalah tanda makhluk). Allah maha suci dari pada itu semua dengan kesucian yang agung” (Lihat al-Washiyyah dalam kumpulan risalah-risalah Imam Abu Hanifah tahqiq Muhammad Zahid al-Kautsari, h. 2. juga dikutip oleh Mullah Ali al-Qari dalam Syarh al-Fiqhul Akbar, h. 70)

Perkataan Imam Abu Hanifah ini adalah ungkapan yang sangat jelas dalam bantahan terhadap pendapat kaum Musyabbihah dan kaum Mujassimah, termasuk kelompok yang bernama Wahhabiyyah sekarang; mereka yang mengaku sebagai kelompok salafi Kita katakan kepada mereka Para ulama salaf telah sepakat mengatakan bahwa Allah ada tanpa tempat dan tanpa arah. Salah satunya adalah Imam Abu Hanifah yang merupakan salah seorang terkemuka dikalangan mereka. Beliau telah mendapatkan pelajaran dari para ulama tabi‘in, dan para ulama tabi‘in tersebut telah mengambil pelajaran dari para sahabat Rasulullah.

Al-Imam al-Mujtahid As-Syafi’e r.a. berkata:

إنه تعالى كان ولا مكان فخلق المكان وهو على صفة الأزلية كما كان قبل خلقه المكان لا يجوز عليه التغيير في ذاته ولا التبديل في صفاته” اهـ

ِArtinya: “Sesungguhnya Allah ta’ala ada tanpa permulaan dan tanpa tempat, lalu Dia menciptakan tempat dan Dia tetap pada sifat-Nya yang Azaliy ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. tidak boleh bagi-Nya berubah pada Dzat-Nya, atau berubah pada sifat-sifat-Nya”(ittihaf as-sa’adah Al-Muttaqin: 2/24).

Dalam salah satu kitab karnya al-Fiqh al-Akbar[selain Imam Abu Hanifah Imam asy-Syafi’i juga menuliskan Risalah Aqidah Ahlussunnah dengan judul [al-Fiqh al-Akbar], Imam asy-Syafi’i berkata:

واعلموا أن الله تعالى لا مكان له، والدليل عليه هو أن الله تعالى كان ولا مكان له فخلق المكان وهو على صفته الأزلية كما كان قبل خلقه المكان، إذ لا يجوز عليه التغير في ذاته ولا التبديل في صفاته، ولأن من له مكان فله تحت، ومن له تحت يكون متناهي الذات محدودا والحدود مخلوق، تعالى الله عن ذلك علوا كبيرا، ولهذا المعنى استحال عليه الزوجة والولد لأن ذلك لا يتم إلا بالمباشرة والاتصال والانفصال (الفقه الأكبر، ص)

Artinya: “Ketahuilah bahwa Allah Subhanahu wata’ala tidak bertempat.Dalil atas ini adalah bahwa Dia ada tanpa permulaan dan tanpa tempat. Setelah menciptakan tempat  Dia tetap pada sifat-Nya yang Azali sebelum menciptakan tempat, ada tanpa tempa. Tidak boleh pada hak Allah adanya perubahan, baik pada Dzat-Nya maupun pada sifat-sifat-Nya .Karena sesuatu yang memiliki tempat maka ia pasti memiliki arah bawah, dan bila demikian maka mesti ia memiliki bentuk tubuh dan batasan, dan sesuatu yang memiliki batasan mestilah ia merupakan makhluk, Allah Maha Suci dari pada itu semua  .Karena itu pula mustahil atas-Nya memiliki istri dan anak, sebab perkara seperti itu tidak terjadi kecuali dengan adanya sentuhan, menempel, dan terpisah, dan Allah mustahil bagi-Nya terbagi-bagi dan terpisah-pisah. Karenanya tidak boleh dibayangkan dari Allah adanya sifat menempel dan berpisah.Oleh  sebab itu adanya suami, istri, dan anak pada hak Allah adalah sesuatu yang mustahil” (al-Fiqh al-Akbar, h. 13).

Secara panjang lebar dalam kitab yang sama, Al-Imam asy-Syafi’i membahas bahwa adanya batasan (bentuk) dan penghabisan adalah sesuatu yang mustahil bagi Allah. Karena pengertian batasan (al-hadd bentuk) adalah ujung dari sesuatu dan penghabisannya. Dalil bagi kemustahilan hal ini bagi Allah adalah bahwa Allah ada tanpa permulaan dan tanpa bentuk, maka demikian pula Dia tetap ada tanpa penghabisan dan tanpa bentuk . Karena setiap sesuatu yang memiliki bentuk dan penghabisan secara logika dapat dibenarkan bila sesuatu tersebut menerima tambahan dan pengurangan, juga dapat dibenarkan adanya sesuatu yang lain yang serupa dengannya. Kemudian dari pada itu “sesuatu” yang demikian ini, secara logika juga harus membutuhkan kepada yang menjadikannya dalam bentuk dan batasan tersebut, dan ini jelas merupakan tanda-tanda makhluk yang nyata mustahil bagi Allah.

Al-Imam al-Mujtahid Abu ‘Abdillah Ahmad ibn Hanbal (w 241 H), perintis madzhab Hanbali, juga seorang Imam yang agung ahli tauhid Beliau mensucikan Allah dari tempat dan arah Bahkan beliau adalah salah seorang terkemuka dalam akidah tanzih Dalam pada ini as-Syaikh Ibn Hajar al-Haitami menuliskan:

وَمَا اشْتُهِرَ بَيْنَ جَهَلَةِ الْمَنْسُوْبِيْنَ إلَى هذَا الإمَامِ الأعْظَمِ الْمُجْتَهِدِ مِنْ أنّهُ قَائِلٌ بِشَىءٍ مِنَ الْجِهَةِ أوْ نَحْوِهَا فَكَذِبٌ وَبُهْتَانٌ وَافْتِرَاءٌ عَلَيْهِ

Artinya: “Apa yang tersebar di kalangan orang-orang bodoh yang menisbatkan dirinya kepada madzhab Hanbali bahwa beliau telah menetapkan adanya tempat dan arah bagi Allah, maka sungguh hal tersebut adalah merupakan kedustaan dan kebohongan besar atasnya” (Lihat Ibn Hajar al-Haitami dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah, h. 144)

Beliau juga mengatakan:

مَهْمَا تَصَوَّرْتَ بِبَالِكَ فاللهُ بِخِلاَفِ ذَلِكَ (روَاه أبُو الفَضْلِ التَّمِيْمِيُّ)

Artinya: “Apapun yang terlintas dalam benak kamu (tentang Allah), maka Allah tidak seperti itu”.(Diriwayatkan oleh Abu al Fadll at-Tamimi)

Jika ditanyakan kepada kita bagaimana hal itu bisa terjadi? Bahwa ada sesuatu yang ada tetapi tidak bisa dibayangkan dan digambarkan dengan benak kita?

Jawab: Bahwa di antara makhluk ada yang tidak bisa kita bayangkan akan tetapi kita harus beriman dan meyakini adanya Yaitu bahwa cahaya dan kegelapan keduanya dulu tidak ada Tidak ada satupun di antara kita yang bisa membayangkan pada dirinya bagaimana ada suatu waktu atau masa yang berlalu tanpa ada cahaya dan kegelapan di dalamnya. Meski demikian kita wajib beriman dan meyakini bahwa telah ada suatu masa yang berlalu tanpa dibarengi dengan cahaya dan kegelapan, karena Allah berfirman:

وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنّوْرَ (سورةالأنعام : 1)

“…dan Dia yang telah menjadikan kegelapan dan cahaya” (QS. Al-An’am: 1)

 Artinya bahwa Allah yang telah menciptakan kegelapan dan cahaya dari yang sebelumnya tidak ada Jika demikian halnya yang terjadi pada makhluk, maka lebih utama kita beriman dan percaya tentang Allah Yang mengatakan tentang Dzat-Nya: Laysa Kamitslihi Syai’ (QS Asy-Syura: 11), maka Allah tidak tergambar dalam benak dan tidak diliputi oleh akal, Allah ada, maha suci dari bentuk dan ukura, ada tanpa tempat dan

Al-Imam Abu Ja’far At-Tohawi (321H) berkata juga:

تَعَالَـى (يَعْنِي اللهَ) عَنِ الْحُدُوْدِ وَالغَايَاتِ وَالأرْكَانِ وَالأعْضَاءِ وَالأدَوَاتِ لاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ

Artinya: “Maha suci Allah dari batas-batas (bentuk kecil maupun besar, jadi Allah tidak mempunyai ukuran sama sekali), batas akhir, sisi-sisi, anggota badan yang besar (seperti wajah, tangan dan lainnya) maupun anggota badan yang kecil (seperti mulut, lidah, anak lidah, hidung, telinga dan lainnya). Dia tidak diliputi oleh satu maupun enam arah penjuru (atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang) tidak seperti makhluk-Nya yang diliputi enam arah penjuru tersebut”. (As-Siqaat: 1/1)

Al-Imam ath-Thahawi adalah Ahmad bin Muhammad bin Sallamah, lahir tahun 227 H. Jadi beliau masuk dalam makna hadits yang disebutkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam:

خَيْرُ الْقُرُوْنِ قَرْنِي ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ ثُمَّ الّذِيْنَ يَلُوْنَهُم (رَوَاهُ التّرمِذِي)

Artinya: “Sebaik-baiknya generasi adalah generasiku (sahabat) kemudian generasi sesudahnya (Tabi’in) dan kemudian  yang sesudahnya (Tabi’ut Tabi’in).” (HR. At-Turmudzi)

Makna dari “Ta’ala” adalah bahwa Allah maha suci

 Maksud perkataan ath-Thahawi bahwa Allah maha suci dari ”Hudud” adalah bahwa Allah maha suci dari Hadd sama sekali.Hadd adalah benda dan ukuran, besar maupun kecil. Suatu benda pasti berada pada suatu tempat dan arah. Sedangkan Allah maha suci dari berupa benda, berarti Allah ada tanpa tempat. Seandainya Allah adalah benda niscaya akan ada banyak serupa bagi-Nya, padahal Allah ta’ala telah berfirma:

فَلاَ تَضْرِبُوْا لِلّهِ الأمْثَالَ (سورة النحل : 74)

“Janganlah kalian membuat serupa-serupa bagi Allah”(QS. an-Nahl: 74)

Dengan demikian barangsiapa mengatakan bahwa Allah memiliki hadd yang hadd tersebut tidak ketahui oleh kita, hanya Allah saja yang mengetahuinya maka sungguh orang ini adalah seorang yang kafir, karena dengan demikian dia telah menetapkan Allah sebagai benda yang memiliki bentuk dan ukuran.

Maksud perkataan ath-Thahawi ”La Tahwihi al-Jihat as-Sittu…” bahwa Allah mustahil berada di salah satu arah atau di semua arah karena Allah ada tanpa tempat dan arah .Enam arah yang dimaksud adalah adalah atas, bawah, kanan, kiri, depan dan belakang

Al-Imam ath-Thahawi juga berkata:

وَمَنْ وَصَفَ اللهَ بِمَعْنًى مِنْ مَعَانِـي الْبَشَرْ فَقَدْ كَفَرَ

”Barang siapa yang menyifati Allah dengan salah satu sifat manusia maka ia telah kafir”.

Sifat-sifat manusia banyak sekali. Sifat  yang paling nyata adalah baru yakni “ada setelah sebelumnya tiada. Di antara sifat manusia juga adalah mati, berubah, berpindah dari satu keadaan ke keadaan yang lain, bergerak, diam, infi’al (merespon peristiwa dengan kegembiraan atau kesedihan atau semacamnya yang nampak dalam raut muka dan gerakan anggota tubuh), turun dari atas ke bawah, naik dari bawah ke atas, berpindah, memiliki warna, bentuk, panjang, pendek, bertempat pada suatu arah dan tempat, membutuhkan, memperoleh pengetahuan yang baru, terkena lupa, bodoh, duduk, bersemayam, berada di atas sesuatu dengan jarak, berjarak, menempel, berpisah dan lain–lain. Jadi barangsiapa mensifati Allah dengan salah satu sifat manusia tersebut maka dia telah kafir.

Imam Ibn Hibban r.a. juga berkata: “Sesungguhnya Allah s.w.t. tidak membutuhkan kepada tempat dan waktu” (Al-Ihsan fi tartib sahih Ibn Hibban: 4/8)

Masih terlalu banyak ungkapan-ungkapan para ulama’ salafus soleh, dan para ulama’ setelah mereka, dalam menafikan apapun sifat jismiyyah (kejisiman) Allah s.w.t..Oleh sebab itu, fahamlah kita bahwa, mereka tidak pernah memahami nas-nas mutasyabihat dengan maknanya dari segi bahasa, seperti yang didakwa oleh Ibn Taimiyah, yang selanjutnya dikembangkan lagi oleh para pendukung beliau dari kalangan golongan mutasallifah.

Adapun para ulama’ salafus soleh sangat berwaspada daripada menisbahkan sifat-sifat kejisiman kepada Allah s.w.t. kerana mereka mengerti bahwa, tajsim itu juga termasuk dalam fahaman tasybih yang bertentangan dengan seruan ayat Al-Qur’an yang  berbunyi: “Tiadalah bagiNya itu akan sesuatupun yang menyerupaiNya”.

Kesimpulannya, sebahagian besar golongan pengaku salafi moden berfahaman tajsim, dengan menisbahkan makna-makna zahir berbentuk kejisiman kepada Allah s.w.t. sedangkan para salafus soleh menyucikan Allah s.w.t. dari sebarang bentuk sifat-sifat makhluk kepada Allah s.w.t. termasuklah menafikan sebarang penisbahan kejisiman (menafikan tajsim) kepada Allah s.w.t.. Para salafus soleh menyerahkan makna perkataan mutasyabihat kepada Allah s.w.t. dan ada sebahagian daripada mereka menta’wilkannya, sedangkan golongan salafi moden ini menetapkan makna zahir perkataan tersebut kepada Allah s.w.t. (na’uzubillah).

Janganlah tertipu dengan pengaku salafi modern yang menterjemahkan lafaz-lafaz mutasyabihat dengan makna zahirnya seperti menterjemahkan istiwa dengan bersemayam dan sebagainya kerana ianya tidak pernah dilakukan oleh salafus-soleh yang sebenarnya, bahkan bertentangan dengan pendirian salafus-soleh yang tidak memahaminya dengan maknanya yang  zahir.

“Mereka mengetahui bahawasanya yang menyampaikan nas-nas tersebut (mutasyabihat) benar dan tidak diragui kebenarannya (Nabi s.a.w.) lalu mempercayainya (membenarkan lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut) tetapi mereka tidak mengetahui hakikat maknanya (tidak tahu makna sebenar lafaz-lafaz mutasyabihat tersebut). Oleh yang demikian, mereka mendiamkan diri daripada membicarakannya…” (Zamm At-Ta’wil,hal.30)